A. Pengertian Kesehatan dan
Keselamatan Kerja
1. Menurut Mangkunegara,
keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada
khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju
masyarakat adil dan makmur.
2. Menurut Suma’mur (1981:
2), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja
yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan.
3. Menurut Simanjuntak
(1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko
kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi
bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja
4. Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa keselamatan
adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap
cidera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan
adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara
umum.
5. Menurut Ridley, John
(1983), mengartikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu kondisi dalam
pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun
bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
6. Jackson, menjelaskan bahwa
kesehatan dan keselamatan kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi
fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan
kerja yang disediakan oleh perusahaan.
7. Ditinjau dari sudut
keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja adalah ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja di tempat kerja. (Lalu Husni, 2003: 138).
Setelah melihat berbagai pengertian di atas,
pada intinya dapat ditarik kesimpulan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja
adalah suatu usaha dan upaya untuk menciptakan perindungan dan keamanan dari
resiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental maupun emosional terhadap
pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi berbicara mengenai
kesehatan dan keselamatan kerja tidak melulu membicarakan masalah keamanan
fisik dari para pekerja, tetapi menyangkut berbagai unsur dan pihak.
B. Urgensi
Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Kesehatan
dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, dibuatlah berbagai ketentuan yang mengatur tentang
kesehatan dan keselamatan kerja. Berawal dari adanya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang dinyatakan dalam Pasal 9
bahwa “setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan,
kesehatan dan pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan
harkat, martabat, manusia, moral dan agama”. Undang-Undang tersebut kemudian
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini ada beberapa hal yang diatur antara lain:
a. Ruang lingkup
keselamatan kerja, adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah,
di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada dalam wilayah hukum
kekuasaan RI. (Pasal 2).
b. Syarat-syarat
keselamatan kerja adalah untuk:
· Mencegah dan mengurangi
kecelakaan
· Mencegah, mengurangi dan
memadamkan kebakaran
· Mencegah dan mengurangi
peledakan
· Memberi pertolongan pada
kecelakaan
· Memberi alat-alat
perlindungan diri pada pekerja
· Memperoleh penerangan
yang cukup dan sesuai
· Memelihara kesehatan dan
ketertiban
· dll (Pasal 3 dan 4).
c. Pengawasan Undang-Undang
Keselamatan Kerja, “direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap undang-undang
ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan
menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini dan
membantu pelaksanaannya. (Pasal 5).
d. Menteri Tenaga Kerja
berwenang membentuk Panitia Pembinaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja untuk
mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi yang efektif dari
pengusaha atau pengurus tenaga kerja untuk melaksanakan tugas bersama dalam
rangka keselamatan dan kesehatan kerja untuk melancarkan produksi. (Pasal 10).
e. Setiap kecelakan kerja
juga harus dilaporkan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja di
dinas yang terkait. (Pasal 11 ayat 1).
(Suma’mur. 1981: 29-34).
Dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur pula
bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan kerja
b. Moral dan kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Selain diwujudkan dalam
bentuk undang-undang, kesehatan dan keselamatan kerja juga diatur dalam
berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Tujuan pelayanan kesehatan
kerja adalah:
a. Memberikan bantuan kepada
tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan pekerjaanya.
b. Melindungi tenaga kerja
terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan
kerja.
c. Meningkatkan kesehatan
badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga kerja.
d. Memberikan pengobatan dan
perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.
Selanjutnya Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02/MEN/1979 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja meliputi:
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan
kesehatan khusus. Aturan yang lain diantaranya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor 03/MEN/1984 tentang Mekanisme Pengawasan Ketenagakerjaan.
Kebijakan pemerintah
Berbicara penerapan K3
dalam perusahaan tidak terlepas dengan landasan hukum penerapan K3 itu sendiri.
Landasan hukum yang dimaksud memberikan pijakan yang jelas mengenai aturan apa
dan bagaimana K3 itu harus diterapkan. Adapun sumber hukum penerapan K3
adalah sebagai berikut:
1) UU No. 1
tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
2) UU No. 3
tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3) PP No. 14
tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
4) Keppres
No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja.
5) Permenaker
No. Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, pembayaran
Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Semua produk
perundang-undangan pada dasarnya mengatur tentang kewajiban dan hak
Tenaga Kerja terhadap Keselamatan Kerja untuk:
·
Memberikan keterangan
yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan
kerja;
·
Memakai alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan;
·
Memenuhi dan
mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan;
·
Meminta pada pengurus
agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
·
Menyatakan keberatan
kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta
alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam
hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang
masih dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya sebagai
perwujudan program K3 yang ditujukan sebagai program perlindungan khusus bagi
tenaga kerja, maka dibuatlah Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yaitu suatu program
perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia.
Program jamsostek lahir
dan diadakan dan selanjutnya dilegitimasi dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek sebagai pengakuan atas setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial
tenaga kerja. Sedangkan ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam
Undang-undang ini meliputi:
1) Jaminan
Kecelakaan Kerja;
2) Jaminan
Kematian
3) jaminan
Hari Tua
4) Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan.
Program Jamsostek
sebagai pengejawantahan dari program K3 diwajibkan berdasarkan Pasal 2 Ayat 3
PP No. 14 Tahun 1993 bagi setiap perusahaan, yang memiliki kriteria sebagai
berikut:
1) Perusahaan
yang mempekerjakan tenaga kerja 10 orang atau lebih
2) Perusahaan
yang membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan
(walaupun kenyataannya tenaga kerjanya kurang dari 10 orang).
Akibat hukum bagi
perusahaan yang tidak menjalankan program jamsostek ini adalah Pengusaha dapat
dikenai sanksi berupa hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Apabila setelah
dikenai sanksi tersebut si pengusaha tetap tidak mematuhi ketentuan yang
dilanggarnya, maka ia dapat dikenai sanksi ulang berupa hukuman kurungan
selama-lamanya 8 (delapan) bulan dan dicabut ijin usahanya, apabila pengusaha
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak
memenuhi hak buruh untuk mengikuti program Jamsostek
2) Tidak
melaporkan adanya kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor
Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam (2
hari)
3) Tidak
melaporkan kepada Kantor Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak
lebih dari 2 kali 24 jam (2 hari) setelah si korban dinyatakan oleh dokter yang
merawatnya bahwa ia telah sembuh, cacad atau meninggal dunia
4) Apabila
pengusaha melakukan pentahapan kepesertaan program jamsostek, tetapi melakukan
juga pentahapan pada program jaminan kecelakaan kerja (program kecelakaan kerja
mutlak diberlakukan kepada seluruh buruh tanpa terkecuali)
Hal tersebut diatas
berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU No.
3 tahun 1992 & pasal 27 sub a PP No. 14 tahun 1993. Sanksi lain yang
mungkin diterapkan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU
No. 3 tahun 1992 pada Pengusaha dapat dikenai sanksi berupa hukuman kurungan
selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah). Apabila setelah dikenai sanksi tersebut si pengusaha
tetap tidak mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, maka ia dapat dikenai sanksi
ulang berupa hukuman kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan dan, apabila
pengusaha melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) tidak
mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada Badan
Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya
2) tidak
memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta
perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian
perusahaan yang berdiri sendiri
3) tidak
menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan program jamsostek kepada Badan Penyelenggara
4) menyampaikan
data yang tidak benar sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak
terdaftar sebagai peserta program jamsostek
5) menyampaikan
data yang tidak benar sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan
kepada si korban
6) menyampaikan
data yang tidak benar sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan oleh
Badan Penyelenggara
7) apabila
pengusaha telah memotong upah buruh untuk iuran program jamsostek tetapi tidak
membayarkannya kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan
Selain sanksi-sanksi yang sudah disebutkan
diatas, ada pula sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha seperti yang
diatur dalam Pasal 47 sub a PP No. 14 tahun 1993. Peringatan ini dapat
dikenakan apabila pengusaha melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
1) tidak
mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai peserta program Jamsostek
kepada Badan Penyelenggara walaupun perusahaannya memenuhi kriteria untuk
berlakunya program Jamsostek
2) tidak
menyampaikan kartu peserta program jaminan sosial tenaga kerja kepada
masing-masing tenaga kerja dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
diterima dari Badan Penyelenggara
3) tidak
melaporkan perubahan
alamat perusahaan
kepemilikan perusahaan
jenis atau bidang usaha
jumlah tenaga kerja dan
keluarganya – besarnya upah setiap tenaga kerja palling lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadinya
perubahan;
4) tidak
memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi tenaga kerja
yang tertimpa kecelakaan
5) tidak melaporkan
penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24
jam setelah ada hasil diagnosis dari Dokter Pemeriksa
6) tidak
membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan selama tenaga kerja yang tertimpa
kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, sampai adanya penetapan dari
menteri.
Pengusaha dapat pula dikenakan denda sebesar 2%
untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya
dibayar, apabila melakukan keterlambatan pembayaran iuran program Jamsostek. Selanjutnya
apabila ada pengusaha yang tidak menjalankan program jamsostek padahal telah
memenuhi kriteria, maka pekerja yang cepat tanggap dapat melaporkan hal ini
pada Departemen Tenaga Kerja, yang kemudian akan diadakan penyelidikan
terhadap perusahaan selanjutnya ditangani oleh petugas-petugas penyelidik dalam
hukum acara, yaitu:
1) Kepolisian
Republik Indonesia
2) Pegawai
negeri sipil yang mempunyai kewenangan dalam hal ini pegawai pengawas Depnaker.
Arti penting dari kesehatan
dan keselamatan kerja bagi perusahaan adalah tujuan dan efisiensi perusahaan
sendiri juga akan tercapai apabila semua pihak melakukan pekerjaannya
masing-masing dengan tenang dan tentram, tidak khawatir akan ancaman yang
mungkin menimpa mereka. Selain itu akan dapat meningkatkan produksi dan
produktivitas nasional. Setiap kecelakaan kerja yang terjadi nantinya juga akan
membawa kerugian bagi semua pihak. Kerugian tersebut diantaranya menurut Slamet
Saksono (1988: 102) adalah hilangnya jam kerja selama terjadi kecelakaan,
pengeluaran biaya perbaikan atau penggantian mesin dan alat kerja serta
pengeluaran biaya pengobatan bagi korban kecelakaan kerja.
Menurut Mangkunegara tujuan
dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan
keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan
kerja digunakan sebaik-baiknya dan seefektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara
keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian
kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan
terlindungi dalam bekerja
Melihat urgensi mengenai
pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, maka di setiap tempat kerja perlu
adanya pihak-pihak yang melakukan kesehatan dan keselamatan kerja. Pelaksananya
dapat terdiri atas pimpinan atau pengurus perusahaan secara bersama-sama dengan
seluruh tenaga kerja serta petugas kesehatan dan keselamatan kerja di tempat
kerja yang bersangkutan. Petugas tersebut adalah karyawan yang memang mempunyai
keahlian di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan
atau pengurus tempat kerja/perusahaan
Pengusaha sendiri juga
memiliki kewajiban dalam melaksanakan kesehatan dan keselamatan kerja. Misalnya
terhadap tenaga kerja yang baru, ia berkewajiban menjelaskan tentang kondisi
dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, semua alat pengaman diri yang
harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan pekerjaannya. Sedangkan untuk
pekerja yang telah dipekerjakan, pengusaha wajib memeriksa kesehatan fisik dan
mental secara berkala, menyediakan secara cuma-cuma alat pelindung diri,
memasang gambar-gambar tanda bahaya di tempat kerja dan melaporkan setiap
kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker setempat.
Para pekerja sendiri berhak
meminta kepada pimpinan perusahaan untuk dilaksanakan semua syarat keselamatan
dan kesehatan kerja, menyatakan keberatan bila melakukan pekerjaan yang alat
pelindung keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi pekerja juga
memiliki kewajiban untuk memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan menaati
persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui
urgensi mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak
yang ada di tempat kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan
lebih mudah terwujud.
C. Kecelakaan Kerja dan
Solusi
1. Kecelakaan Kerja
Keselamatan
dan kesehatan kerja bertalian dengan apa yang disebut dengan kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan pelaksanaan kerja
yang disebabkan karena faktor melakukan pekerjaan. (Suma’mur, 1981: 5).
Kecelakaan kerja juga diartikan sebagai kecelakaan yang terjadi di tempat kerja
atau suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang
mengacaukan proses aktivitas kerja. (Lalu Husni, 2003: 142). Kecelakaan kerja
ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan
yang dapat mendatangkan kecelakaan ini disebut sebagai bahaya kerja. Bahaya
kerja ini bersifat potensial jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan
bahaya. Jika kecelakaan telah terjadi, maka disebut sebagai bahaya nyata.
(Suma’mur, 1981: 5).
Lalu Husni secara lebih
jauh mengklasifikasikan ada empat faktor penyebab kecelakaan kerja yaitu:
a. Faktor manusia,
diantaranya kurangnya keterampilan atau pengetahuan tentang industri dan kesalahan penempatan tenaga kerja.
b. Faktor material atau
peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari besi dibuat dengan
bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan kecelakaan kerja.
c. Faktor sumber bahaya,
meliputi:
· Perbuatan bahaya,
misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang teledor serta tidak memakai
alat pelindung diri.
· Kondisi/keadaan bahaya,
misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta pekerjaan yang membahayakan.
d. Faktor lingkungan kerja
yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya, ventilasi, pergantian udara yang
tidak lancar dan suasana yang sumpek.
Dari beberapa faktor tersebut, Suma’mur menyederhanakan faktor
penyebab kecelakaan kerja menjadi dua yaitu:
a. Tindak perbuatan manusia
yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human act atau human
error).
b. Keadaan lingkungan yang
tidak aman. (Suma’mur, 1981: 9).
Diantara penyederhanaan
tersebut, faktor manusia adalah penyebab kecelakaan kerja di Indonesia yang
paling dominan. Para ahli belum dapat menemukan cara yang benar-benar jitu
untuk menghilangkan tidakan karyawan yang tidak aman tersebut.
Tindakan-tindakan tersebut diantaranya membuat peralatan keselamatan dan
keamanan tidak beroperasi dengan cara memindahkan, mengubah setting, atau
memasangi kembali, memakai peralatan yang tidak aman atau menggunakannya secara
tidak aman, menggunakan prosedur yang tidak aman saat mengisi, menempatkan,
mencampur, dan mengkombinasikan material, berada pada posisi tidak aman di
bawah muatan yang tergantung, menaikkan lift dengan cara yang tidak benar,
pikiran kacau, tidak memperhatikan tanda bahaya dan lain-lain.
Kecelakaan kerja tentunya
akan membawa suatu akibat yang berupa kerugian. Kerugian yang bersifat ekonomis
misalnya kerusakan mesin, biaya perawatan dan pengobatan korban, tunjangan
kecelakaan, hilangnya waktu kerja, serta menurunnya mutu produksi. Sedangkan
kerugian yang bersifat non ekonomis adalah penderitaan korban yang dapat berupa
kematian, luka atau cidera dan cacat fisik.
Suma’mur (1981: 5) secara
lebih rinci menyebut akibat dari kecelakan kerja dengan 5K yaitu:
a. Kerusakan
b. Kekacauan organisasi
c. Keluhan dan kesedihan
d. Kelainan dan cacat
e. Kematian
Salah satu teori
tentang penyebab kecelakaan kerja diuraikan oleh Thompkin (1982) yang disebut dengan teori
Domino (domino sequence theory)
memberikan gambaran di dalam teori domino Henirich yang intinya adalah :
3. Solusi Mengatasi Kecelakaan Kerja
Ada
beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi resiko dari
adanya kecelakaan kerja. Salah satunya adalah pengusaha membentuk Panitia
Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja untuk menyusun program keselamatan
kerja. Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup tugas panitia tersebut adalah
masalah kendali tata ruang kerja, pakaian kerja, alat pelindung diri dan
lingkungan kerja.
a. Tata ruang kerja yang
baik adalah tata ruang kerja yang dapat mencegah timbulnya gangguan keamanan
dan keselamatan kerja bagi semua orang di dalamnya. Barang-barang dalam ruang
kerja harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat dihindarkan dari
gangguan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Jalan-jalan yang dipergunakan untuk lalu lalang juga harus diberi tanda,
misalnya dengan garis putih atau kuning dan tidak boleh dipergunakan untuk
meletakkan barang-barang yang tidak pada tempatnya.
Kaleng-kaleng
yang mudah bocor atau terbakar harus ditempatkan di tempat yang tidak beresiko
kebocoran. Jika perusahaan yang bersangkutan mengeluarkan sisa produksi berupa
uap, maka faktor penglihatan dan sirkulasi udara di ruang kerja juga harus
diperhatikan
b. Pakaian kerja sebaiknya
tidak terlalu ketat dan tidak pula terlalu longgar. Pakaian yang terlalu
longgar dapat mengganggu pekerja melakukan penyesuaian diri dengan mesin atau
lingkungan yang dihadapi. Pakaian yang terlalu sempit juga akan sangat membatasi
aktivitas kerjanya. Sepatu dan hak yang terlalu tinggi juga akan beresiko
menimbulkan kecelakaan. Memakai cincin di dekat mesin yang bermagnet juga
sebaiknya dihindari.
c. Alat pelindung diri dapat
berupa kaca mata, masker, sepatu atau sarung tangan. Alat
pelindung diri ini sangat penting untuk menghindari atau mengurangi resiko
kecelakaan kerja. Tapi sayangnya, para pekerja terkadang enggan
memakai alat pelindung diri karena terkesan merepotkan atau justru mengganggu
aktivitas kerja. Dapat juga karena perusahaan memang tidak menyediakan alat
pelindung diri tersebut.
d.
Lingkungan
kerja meliputi faktor udara, suara, cahaya dan warna. Udara yang baik dalam
suatu ruangan kerja juga akan berpengaruh pada aktivitas kerja. Kadar udara
tidak boleh terlalu banyak mengandung CO2, ventilasi dan AC juga harus
diperhatikan termasuk sirkulasi pegawai dan banyaknya pegawai dalam suatu ruang
kerja. Untuk mesin-mesin yang menimbulkan kebisingan, tempatkan di ruangan yang
dilengkapi dengan peredam suara. Pencahayaan disesuaikan dengan kebutuhan dan
warna ruang kerja disesuaikan dengan macam dan sifat pekerjaan. (Slamet Saksono, 1988:
104-111).
D. Implementasi
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Dalam era industri seperti sekarang ini,
tidak dapat kita pungkiri begitu banyak perusahaan-perusahaan besar yang
berdiri di Indonesia. Mulai dari perusahaan kelas ringan sampai kelas berat
ada. Sebagai perusahaan yang telah mempekerjakan orang-orang di dalamnya,
perusahaan diwajibkan untuk memberi perlindungan dalam bidang kesehatan dan
keselamatan kerja kepada setiap pihak di dalamnya agar tercapai peningkatan
produktivitas perusahaan.
Pemerintah sendiri sebenarnya cukup menaruh
perhatian terhadap permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja ini. Berbagai
macam produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan pendukung lainnya
dikeluarkan untuk melindungi hak-hak pekerja terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja mereka. Beberapa perusahaan yang ada sebagian juga telah memiliki standar
keamanan dan kesehatan kerja.
UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan tentang pentingnya
perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Undang-Undang tersebut
berawal dari UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. UU Nomor 1 Tahun
1970 tersebut menjelaskan pentingnya keselamatan kerja baik itu di darat, di
dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, dan di udara di wilayah Republik
Indonesia. Implementasinya diberlakukan di tempat kerja yang menggunakan
peralatan berbahaya, bahan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya), pekerjaan
konstruksi, perawatan bangunan, pertamanan dan berbagai sektor pekerjaan
lainnya yang diidentifikasi memiliki sumber bahaya. Undang-undang tersebut juga
mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Menurut Permenaker PER.05 / MEN / 1996 Bab I,
salah satu upaya dalam mengimplementasikan kesehatan dan keselamatan kerja
adalah SMK3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja). SMK3 meliputi
struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan,
pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. SMK3 merupakan
upaya integratif yang harus dilakukan tidak hanya dilakukan oleh pihak
manajemen tetapi juga para pekerja yang terlibat langsung dengan pekerjaan.
Perundang-undangan yang dihasilkan tentu saja
harus selalu diawasi dalam proses implementasinya. Proses pengawasan tersebut
diharapkan bisa menekan angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
pada akhirnya menghasilkan angka zero accident yang memang merupakan tujuan
dilaksanakannya SMK3. Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun
pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya
personil pengawasan, sumber daya manusia yang masih kurang memilki pengetahuan
tentang kesehatan dan keselamatan kerja serta perusahaan-perusahaan yang
ternyata memang belum memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja.
Beberapa program yang dilaksanakan pemerintah
dalam upaya mewujudkan kesehatan dan keselamatan kerja diantaranya adalah :
1. Kebijakan,
Hukum, dan Peraturan
a. Undang-undang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Indonesia mempunyai kerangka hukum K3 yang
ekstensif, sebagaimana terlihat pada daftar peraturan perundang-undangan K3
yang terdapat dalam Lampiran II. Undang-undang K3 yang terutama di Indonesia
adalah Undang-Undang No. 1/ 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini
meliputi semua tempat kerja dan menekankan pentingnya upaya atau tindakan
pencegahan primer.
Undang-Undang No. 23/ 1992 tentang Kesehatan
memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam Pasal 23 yang menyebutkan
bahwa kesehatan kerja dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam
kondisi kesehatan yang baik tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau
masyarakat, dan supaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas kerja mereka
sesuai dengan program perlindungan tenaga kerja.
b. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Di antara negara-negara Asia, Indonesia
termasuk negara yang telah memberlakukan undang-undang yang paling komprehensif
(lengkap) tentang sistem manajemen K3 khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang
berisiko tinggi. Peraturan tersebut (Pasal 87 UU no 13 Tahun 2003) menyebutkan
bahwa “setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 karyawan atau lebih atau yang
sifat proses atau bahan produksinya mengandung bahaya karena dapat menyebabkan
kecelakaan kerja berupa ledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat
kerja diwajibkan menerapkan dan melaksanakan sistem manajemen K3.
Audit K3 secara sistematis, yang dianjurkan
Pemerintah, diperlukan untuk mengukur praktik sistem manajemen K3. Perusahaan
yang mendapat sertifikat sistem manajemen K3 adalah perusahaan yang telah
mematuhi sekurang-kurangnya 60 persen dari 12 elemen utama, atau 166 kriteria.
c. Panitia
Pembina K3 (P2K3)
Menurut Topobroto (Markkanen, 2004 : 15),
Pembentukan Panitia Pembina K3 dimaksudkan untuk memperbaiki upaya penegakan
ketentuan-ketentuan K3 dan pelaksanaannya di perusahaan-perusahaan. Semua
perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 karyawan diwajibkan mempunyai
komite K3 dan mendaftarkannya pada kantor dinas tenaga kerja setempat. Namun,
pada kenyataannya masih ada banyak perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan
yang belum membentuk komite K3, dan kalau pun sudah, komite tersebut sering
kali tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
d. Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
Berdasarkan Undang-Undang No 3/ 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pemerintah mendirikan perseroan terbatas PT
JAMSOSTEK. Undang-undang tersebut mengatur jaminan yang berkaitan dengan :
(i) kecelakaan kerja [JKK],
(ii) hari tua [JHT],
(iii) kematian [JK], dan
(iv) perawatan kesehatan [JPK].
Keikutsertaan wajib dalam Jamsostek berlaku
bagi pengusaha yang mempekerjakan 10 karyawan atau lebih, atau membayar upah
bulanan sebesar1 juta rupiah atau lebih. Pekerja yang mengalami kecelakaan
kerja berhak atas manfaat/ jaminan yang meliputi (i) biaya transportasi, (ii)
biaya pemeriksaan dan perawatan medis, dan/ atau perawatan di rumah sakit,
(iii) biaya rehabilitasi, dan (iv) pembayaran tunai untuk santunan cacat atau
santunan kematian.
e. Konvensi-konvensi
ILO yang berkaitan dengan K3
Pada tahun 2003, Indonesia masih belum
meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi
ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial dan Perkantoran). Tetapi hingga
tahun 2000, Indonesia sudah meratifikasi seluruh Konvensi Dasar ILO tentang Hak
Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan.
Karena Indonesia mayoritas masih merupakan
negara agraris dengan sekitar 70% wilayahnya terdiri dari daerah pedesaan dan
pertanian, Konvensi ILO yang terbaru, yaitu Konvensi No. 184/ 2001 tentang
Pertanian dan Rekomendasinya, dianggap merupakan perangkat kebijakan yang
bermanfaat. Tetapi secara luas Indonesia dipandang tidak siap untuk
meratifikasi Konvensi ini karena rendahnya tingkat kesadaran K3 di antara
pekerja pertanian. Tingkat pendidikan umum pekerja pertanian di Indonesia juga
rendah, rata-rata hanya 3 sampai 4 tahun di sekolah dasar (Markkanen, 2004 :
16)
2. Penegakan
Hukum
Pemerintah
Indonesia dalam melaksanakan peraturan hukum terkait K3 kemudian membentuk
lembaga-lembaga penunjang diantaranya :
a. Direktorat
Pengawasan Norma K3 di DEPNAKERTRANS
Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, pengawasan/ inspeksi keselamatan kerja telah
didesentralisasikan dan tanggung jawab untuk pengawasan tersebut telah
dialihkan ke pemerintah provinsi sejak tahun 1984. Di Direktorat Jenderal
Pengawasan Ketenagakerjaan DEPNAKERTRANS, sekitar 1,400 pengawas dilibatkan
dalam pengawasan ketenagakerjaan secara nasional. Sekitar 400 pengawas
ketenagakerjaan memenuhi kualifikasi untuk melakukan pengawasan K3 di bawah
yurisdiksi Direktorat Pengawasan Norma K3 (PNKK).
b. Pusat
Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan
Pelayanan
kesehatan kerja adalah tanggung jawab Pusat Kesehatan Kerja di bawah
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Pusat ini dibagi menjadi (i) Seksi
Pelayanan Kesehatan Kerja, (ii) Seksi Kesehatan dan Lingkungan Kerja, dan (iii)
Unit Administrasi.
Pusat
ini sudah menyusun Rencana Strategis Program Kesehatan Kerja untuk melaksanakan
upaya nasional. K3 merupakan salah satu program dalam mencapai Visi Indonesia
Sehat 2010, yang merupakan kebijakan Departemen Kesehatan saat ini. Visi
Indonesia Sehat 2010 dibentuk untuk mendorong pembangunan kesehatan nasional,
meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau untuk perorangan,
keluarga, dan masyarakat .
c. Dewan
Tripartit National Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DK3N)
Dewan
K3 Nasional (DK3N) dibentuk oleh DEPNAKERTRANS pada tahun 1982 sebagai badan
tripartit untuk memberikan rekomendasi dan nasihat kepada Pemerintah di tingkat
nasional. Anggota Dewan ini terdiri dari semua instansi pemerintah yang terkait
dengan K3, wakil-wakil pengusaha dan pekerja dan organisasi profesi. Tugasnya
adalah mengumpulkan dan menganalisa data K3 di tingkat nasional dan provinsi,
membantu DEPNAKERTRANS dalam membimbing dan mengawasi dewan-dewan K3 provinsi,
melakukan kegiatan-kegiatan penelitian, dan menyelenggarakan program-program
pelatihan dan pendidikan. Selama periode 1998-2002, DK3N telah menyelenggarakan
sekurangkurangnya 27 lokakarya dan seminar mengenai berbagai subyek di
sektor-sektor industri terkait. DK3N juga telah menerbitkan sejumlah buku dan
majalah triwulan.
Pada hakikatnya kita memang tidak akan
menemukan konsep dan realita yang berjalan bersamaan, begitu pula dengan
implementasi dari K3 yang belum bisa berjalan maksimal apabila belum ada
komitmen yang tegas dari berbagai pihak baik pmerintah, pengusaha dan lembaga
terkait lainnya dalam melaksanakan K3.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan
upaya untuk menciptakan perlindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan
bahaya baik fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan,
masyarakat dan lingkungan. Jadi kesehatan dan keselamatan kerja tidak melulu
berkaitan dengan masalah fisik pekerja, tetapi juga mental, psikologis dan
emosional.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan
salah satu unsur yang penting dalam ketenagakerjaan. Oleh karena itulah sangat
banyak berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur
nmasalah kesehatan dan keselamatan kerja. Meskipun banyak ketentuan yang
mengatur mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi masih banyak faktor
di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja yang disebut
sebagai bahaya kerja dan bahaya nyata. Masih banyak pula perusahaan yang tidak
memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja sehingga banyak terjadi
kecelakaan kerja.
Oleh karena itu, perlu ditingkatkan sistem
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang dalam hal ini tentu melibatkan
peran bagi semua pihak. Tidak hanya bagi para pekerja, tetapi juga pengusaha
itu sendiri, masyarakat dan lingkungan sehingga dapat tercapai peningkatan mutu
kehidupan dan produktivitas nasional.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking